Konsep Ketuhanan Agama
Hindu
Om Swastyastu
Sesungguhnya agama Hindu adalah
agama tertua di dunia, hal itu bisa dibuktikan dalam usia penelitian
kitab-kitab Weda yang dilontarkan oleh para ahli bahwa agama yang berasal dari
benua India ini tumbuh dan berkembang pada sekitar 6000 tahun sebelum masehi.
Bahkan dalam ekspedisi penggalian di
Mesir telah ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM.
Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hitites. Dalam perjanjian
tersebut juga ada istilah ‘Maitra Waruna’ yaitu sebagai gelar manisfestasi Sang
Hyang Widhi Wasa yang menurut agama Hindu disebut-sebut dalam Weda disebut
saksi.
Sedangkan perkembangannya di
Indonesia diperkirakan masuk pada awal tahun Masehi yang dibawa oleh para musafir
dari India seperti Maha Resi Agastya yang dalam istilah Jawanya terkenal dengan
sebutan Batara Guru atau Dwipayana serta para musafir dari Tiongkok yakni
Musafir Budha Pahyien
Menurut I Wayan Suja proses Agama
Hindu cepat berkembang di negeri ini karena adanya persamaan unsur-unsur antara
agama Hindu dan dengan kepercayaan asli, seperti
- agama Hindu memuja Brahman dan para dewa, sedangkan
kepercayaan nenek moyang kita memuja roh leluhur.
- tempat pemujaan agama Hindu berupa lingga, candi, dan
arca, sedangkan tempat pemujaan nenek moyang berupa menhir, punden
berundak, tahta batu, dan patung.
- upacara agama Hindu dipimpin oleh kaum Brahmana,
sedangkan upacara nenek moyang dipimpin oleh dukun (I Wayan, Bali Post,
1997: 85). Adapun pembuktian secara fisik sangat signifikan dengan adanya
peninggalan prasasti dan bangunan suci (seperti candi-candi yang tersebar
di Indonesia).
Keesaan
Tuhan serta Wujudnya
Tidaklah mudah untuk memberikan
penjelasan tentang Tuhan karena keterbatasan akal manusia, hal itu menunjukkan
begitu kecilnya manusia dihadapanNya. Meski begitu manusia tetaplah membaktikan
dirinya dihadapanNya sebagamana tertuang dalam sabda suci Rg veda X.129.6
yaitu:
“Sesungguhnya siapakah yang
mengenalaNya. Siapa pula yang dapat mengatakan kapan penciptaan itu. Dana kapan pula diciptakan alam semesta
ini, diciptakan dewa-dewa. Siapakah yang mengetahui kapan kejadian itu?”
Sabda suci yang serupa juga terungkap dalam Bhagavadgita X.2 yang
artinya:
“Baik para dewa maupun resi agung tidak
mengenal asal mulaKu. Sebab dalam segala hal, Aku adalah sumber para dewa dan
resi agung” (Wayan dalam Aminah .Eds, 2005: 93-94).
Theologi dalam terminologi agama
Hindu disebut Brahma Vidya yaitu pengetahuan tentang Brahma (Tuhan).
Kesadaran para resi dan tokoh agama Hindu akan keterbatasan bahasa definisi
Tuhan, menimbulkan adagium atau term yang menyatakan bahwa Tuhan itu Neti,
Neti, Neti (bukan ini, bukan ini, bukan ini). Karena dalam Brahmasutra
dinyatakan bahwa Tuhan itu, “Tad avyaktam, aha hi” (sesungguhnya Tuhan
tidak terkatakan) (Wayan dalam Aminah .Eds, 2005: 96).
Dalam keyakinan agama Hindu, Brahman
atau Tuhan hanyalah satu, esa, tidakj ada duanya, namun karena kebesaran dan
kemuliaanNya, para resi dan orang-orang yang bijak menyebutnya dengan beragam
nama.
Kitab Veda juga membicarakan wujud
Brahman. Di dalamnya menjelaskan bahwa Brahman sebenarnya adalah energi,
cahaya, sinar yang sangat cemerlang dan sulit sekali diketahui wujudnya. Dengan
kata lain Abstrak, Kekal, Abadi, atau dalam terminologi Hindu disebut Nirguna
atau Nirkara Brahman (Impersonal God) artinya Tuhan tidak
berpribadi dan Transenden.
Meski Brahman tidak terjangkau
pemikiran manusia atau tidak berwujud, namun jikalau Brahman menghendaki
dirinya terlihat dan terwujud, hal itu sangat mudah dilakukan. Brahman yang
berwujud disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal God),
Tuhan yang berpribadi atau immanent.
Kedua konsep
Tuhan yang impersonal dan personal tersebut di atas dapatlah ditemukan dalam
mantra Bhagavadgita IV.6,7,8 dan Bhagavadgita XII,1 dan 3 dengan sebutan
sebagai berikut (Wayan dalam Aminah .Eds, 2005: 100):
- Paranaamam; Tuhan
Maha Tinggi dan Abstrak, Kekal Abadi tidak berpribadi impersonal, nirkara
(tak berwujud), nirguna (tanpa sifat guna) dan Brahman.Tuhan atau
Brahman dalam bentuk yang abstrak tersebut di Bali disebut Sang Hyang
Suung, Sang Hyang Embang, Sang Hyang Sunya. Karena tidak berbentuk,
sulit dibayangkan dan dipikirkan (acintya, Bali).
- Vyuhanaama; Tuhan
berbaring pada ular di lautan susu. Gambaran Tuhan seperti ini hanya bisa
dilihat oleh para dewa. Di Bali penjelasan seperti itu disebut Hana Tan
Hana (Ada tidak Ada), artinya Tuhan itu diyakini ada, namun tidak bisa
dilihat.
- Vibhawanaama; Tuhan
dalam bentuk ini disebut Avatara (turun menyebrang). Tuhan. Ia juga biasa
disebut Saguna atau Sakara Brahman (personal god).
Visualisasinyapun dapat:
- Tumbuhan/binatang
(Unanthropomorphes): tumbuhan Soma, Ikan, Kura-kura, Babi Hutan,
Garuda.
- Setengah
Manusia-binatang (semi-antropomorphes): Hayagrva yaitu manusia
berkepala kuda , Natrasimha yaitu manusia berkepala singa.
- Bentuk
manusia dengan segala kelebihannya (anthro-pomorphes) seperti
Vamana, Sri Raama, Kresna, Bhagawan Sri Sathya Narayana.
- Antaraatmanama; Tuhan meresapi segalanya dalam
bentuk atma atau zat ketuhanan. Segalanya adalah Brahman (monisme).
- Archananaama; Tuhan yang terwujudkan dalam bentuk archa
atau pertima (replika mini) seperti patung dalam berbagai bahan dan wujud.
Dari uraian di
atas bisa disimpulkan bahwa ketuhanan dalam agama Hindu adalah perpaduan dari
monoteisme transenden, monoteisme imanen, dan monisme. Sekali lagi, ditegaskan
dalam agama Hindu apapun wujud dan rupanya Tuhan diyakinain hanya satu (esa).
Keesaan Tuhan atau Brahma itu dibuktikan dalam berbagai mantra-mantra
(ayat-ayat, red) dalam Veda seperti pada Rg. Veda I.64.46 yang berbunyi:
“Mereka
menyebutnya dengan Indra, Mitra, Varuna, dan Agni
Beliau yang
bersayap keemasan Garutman
Beliau Esa
orang bijaksana menyebutNya banyak
Nama: Indra,
Yama, Marisvan
Mantra di atas
juga sama disebutkan dalam Bhagavadgita XI.39 dan juga dalam Savastava. 3 yang
menyebutkan bahwa Tuhan itu disebut dengan berbagai nama, walaupun sesungguhnya
Brahman itu Esa.
Brahman menurut Veda juga tidak berjenis
kelamin dan berusia. Dengan kata lain jenis kelamin dan usia segalanya ada pada
diri Tuhan (Artharvaveda.X.8.27: Rgveda VIII.58.2). Hal tersebut logis menurut
Vedanta, karena Tuhan adalah segalanya dalam kaitannya konsep monisme.
Dengan begitu Tuhan menurut Veda
adalah seorang Anak, seorang Ibu, Bapa, Nenek, Datuk, Kekasih dan sekaligus
adalah gabungan itu semua, atau bukan semua hal seperti itu (Wayan dalam Aminah
.Eds, 2005: 105).
UPDATE WAWASAN ANDA DISINI - tenagasosial.com - "Recommended"
KONSEP
KETUHANAN DALAM BHAGAWADGITA
I Wayan Sukarma
Abstrak
Tuhan merupakan aspek esensial dalam setiap agama. Oleh karena itu, ilmu tentang Tuhan menjadi tema menarik dalam studi agama-agama, baik klasik maupun kontemporer. Apalagi studi agama menempatkan agama menjadi inti dari kebudayaan yang dipraktikkan dalam dunia sosial. Dengan begitu, agama merupakan fenomena sosial kultural sebagai ekspresi religiusitas masyarakat beragama. Malahan agama dalam konteks sosial telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu dan masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman kehidupan manusia. Artinya, agama bukan hanya mengikat individu dengan Yang Ilahi, tetapi juga manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial. Dalam konteks inilah pengetahuan tentang ketuhanan semakin diperlukan oleh umat Hindu. Walaupun ajaran ketuhanan begitu banyak tersebar dalam kitab-kitab Hindu, tetapi Bhagawadgita merupakan kitab yang mengajarkan ketuhanan yang berperikemanusiaan. Ajaran ketuhanan ini semakin dirasakan perlu ketika umat Hindu hendak membangun dan menata dunia-kehidupan yang lebih produktif.
Tuhan merupakan aspek esensial dalam setiap agama. Oleh karena itu, ilmu tentang Tuhan menjadi tema menarik dalam studi agama-agama, baik klasik maupun kontemporer. Apalagi studi agama menempatkan agama menjadi inti dari kebudayaan yang dipraktikkan dalam dunia sosial. Dengan begitu, agama merupakan fenomena sosial kultural sebagai ekspresi religiusitas masyarakat beragama. Malahan agama dalam konteks sosial telah mengambil bagian dalam menentukan batas-batas identitas individu dan masyarakat. Agama telah mengambil bagian pada saat yang paling penting pada pengalaman kehidupan manusia. Artinya, agama bukan hanya mengikat individu dengan Yang Ilahi, tetapi juga manusia yang satu dengan yang lainnya sehingga agama memang berimpit dengan kehidupan sosial. Dalam konteks inilah pengetahuan tentang ketuhanan semakin diperlukan oleh umat Hindu. Walaupun ajaran ketuhanan begitu banyak tersebar dalam kitab-kitab Hindu, tetapi Bhagawadgita merupakan kitab yang mengajarkan ketuhanan yang berperikemanusiaan. Ajaran ketuhanan ini semakin dirasakan perlu ketika umat Hindu hendak membangun dan menata dunia-kehidupan yang lebih produktif.
1. Pendahuluan
Hinduisme mewadahi beragam subagama sehingga di dalamnya terdapat beragam keyakinan dan kepercayaan. Keberagaman ini justru menantang, seperti dikatakan Stevenson & Haberman (2001:11) bahwa perkenalan dengan Hinduisme merupakan sesuatu yang menantang karena Hindu memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan tradisi agama besar lainnya di dunia terutama berkaitan dengan otoritas pendiri ajaran, titik awal sejarah, dan teks utama. Senada dengan hal ini, Takwin (2001:3) mengatakan bahwa sulit membedakan antara Hindu sebagai agama, filsafat, dan kebudayaan karena Hindu adalah filsafat yang disempurnakan dengan ketuhanan. Dari kedua pernyataan tersebut kiranya dapat diketahui bahwa Hindu memiliki kompleksitas ajaran yang luas dan mendalam sehingga para ahli mengalami kesulitan menentukan posisi Hindu, baik sebagai ilmu, filsafat, agama maupun kebudayaan. Kompleksitas ini ditegaskan oleh Stevenson & Haberman (2001:12) bahwa Hinduisme merupakan suatu tradisi yang sangat beragam, terdiri atas bermacam-macam kebiasaan dan keyakinan sehingga menjadikan upaya generalisasi nyaris tidak mungkin.
Ini
sebabnya upaya mengklaim dan menghadirkan satu teks Hindu yang bersifat tunggal
adalah kesia-siaan. Hal ini ditegaskan oleh Stevenson & Haberman (2001:15)
bahwa merupakan hal absurd untuk mencoba menghadirkan kembali Hinduisme dalam
suatu teks tunggal karena tidak ada satu teks khusus yang dapat diterima
sebagai otoritas oleh seluruh masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka
sebagai pemeluk Hindu. Akan tetapi, secara tradisi pemeluk Hindu mengakui Weda
sebagai otoritas tertinggi kitab sucinya. Pengakuan terhadap otoritas Weda ini
menjadi penting dalam sejarah perkembangan filsafat Hindu di India. Mengingat
aliran-aliran filsafat yang tidak mengakui otoritas Weda, seperti Buddha,
Jaina, Carvaka, dan Ajavika dianggap bukan bagian dari filsafat Hindu sehingga
disebut Nastika (Luniya, 2002:91). Sebaliknya, filsafat Hindu (Astika) dibangun
dan dikembangkan berdasarkan atas pengakuan terhadap otoritas Weda sebagai
bentuk penafsiran yang mendalam dan radikal terhadap kitab suci Catur Weda
(Phalgunadi, 2010:30).
Pada prinsipnya filsafat Hindu
adalah pemikiran spekulatif metafisis tentang hakikat brahman, atman, maya,
widya, moksa, dan kesalinghubungan antara yang satu dengan yang lainnya
(Phalgunadi, 2010:30). Mengingat filsafat Hindu memusatkan pembahasan tentang
brahman sebagai hakikat tertinggi beserta seluruh emanasinya sehingga
pengetahuan ini disebut brahmawidya (Phalgunadi, 2010:32). Dengan demikian,
brahmawidya dapat disamasejarkan dengan teologi dalam konteks agama-agama. Menurut
Pedikso (Supryogo dan Tobroni, 2001:58) bahwa teologi merupakan upaya seluruh
orang beriman dalam menangkap, memahami, dan memberlakukan kehendak Tuhan
melalui konteksnya. Dengan kata lain bahwa teologi adalah refleksi orang
beriman tentang bagaimana bentuk dan/atau nilai-nilai kualitas iman yang
dimilikinya. Apabila disepakati bahwa iman adalah inti dari keyakinan orang
beragama, maka teologi adalah rumusan-rumusan iman yang wajib dipahami oleh
umat beragama sebagai landasan religiusitasnya.
Untuk
memahami ide-ide tentang ketuhanan Hindu bahwa kumpulan teks Upanisad dapat
dijadikan sumber inspirasi dan rujukan utama. Akan tetapi, juga Sangkaracharya
menyatakan pentingnya dua teks lainnya, yaitu Brahmasutra dan Bhagawadgita
sebagai rujukan otentik untuk memahami landasan filosofis Weda. Dengan
demikian, Upanisad (Wedanta), Brahmasutra, dan Bhagawadgita adalah tiga teks
yang wajib dikaji untuk memahami konsep ketuhanan agama Hindu. Ketiga teks ini
disebut prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107).
Artinya, konsep ketuhanan adalah pengetahuan ketuhanan Hindu yang dirujuk dari prasthanatraya (Pudja, 1999:3). Dalam hal ini, Bhagawadgita merupakan salah satu rujukan yang perlu dikaji karena kitab ini begitu banyak dirujuk dalam upaya pengembangan sistem keyakinan Hindu. Walaupun demikian, sampai saat ini di Indonesia jarang ditemui referensi yang secara khusus mengkaji konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita. Padahal kitab ini cukup familiar bagi umat Hindu di Indonesia dan telah diapresiasi oleh tokoh-tokoh Hindu dengan menerjemahkan Bhagawadgita ke dalam bahasa Indonesia, seperti Mantra (t.t), Pudja (1981), Pendit (1982), Tim Penerjemah Bhagawadgita Menurut Aslinya karya Swami Prabhupada A.C. Bhaktivedanta (1986), dan Agus S. Mantik (2009). Sementara itu, kajian terhadap Bhagawadgita yang dapat ditemui, antara lain Geguritan Bhagawad Gita (Djelantik, 1971), Ajaran Moral dalam Bhagawadgita (Sudharta, 1990), dan Intisari Bhagawad Gita dalam dua jilid oleh Bhakta Sri Satya Sai Baba (Drucker, 1988). Hal ini menegaskan bahwa Konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita merupakan salah satu aspek penting untuk dikaji lebih jauh guna memperkaya pemahaman umat Hindu di Indonesia terhadap Bhagawadgita.
Artinya, konsep ketuhanan adalah pengetahuan ketuhanan Hindu yang dirujuk dari prasthanatraya (Pudja, 1999:3). Dalam hal ini, Bhagawadgita merupakan salah satu rujukan yang perlu dikaji karena kitab ini begitu banyak dirujuk dalam upaya pengembangan sistem keyakinan Hindu. Walaupun demikian, sampai saat ini di Indonesia jarang ditemui referensi yang secara khusus mengkaji konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita. Padahal kitab ini cukup familiar bagi umat Hindu di Indonesia dan telah diapresiasi oleh tokoh-tokoh Hindu dengan menerjemahkan Bhagawadgita ke dalam bahasa Indonesia, seperti Mantra (t.t), Pudja (1981), Pendit (1982), Tim Penerjemah Bhagawadgita Menurut Aslinya karya Swami Prabhupada A.C. Bhaktivedanta (1986), dan Agus S. Mantik (2009). Sementara itu, kajian terhadap Bhagawadgita yang dapat ditemui, antara lain Geguritan Bhagawad Gita (Djelantik, 1971), Ajaran Moral dalam Bhagawadgita (Sudharta, 1990), dan Intisari Bhagawad Gita dalam dua jilid oleh Bhakta Sri Satya Sai Baba (Drucker, 1988). Hal ini menegaskan bahwa Konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita merupakan salah satu aspek penting untuk dikaji lebih jauh guna memperkaya pemahaman umat Hindu di Indonesia terhadap Bhagawadgita.
Walaupun
demikian, penting dipahami bahwa konsep ketuhanan atau teologi tidak hanya membahas
rumusan-rumusan manusia tentang Tuhan. Akan tetapi, juga teologi merupakan
upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta eksistensial antara
teks dan konteks, antara kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang
kontekstual (Dharmaputra dalam Suprayogo dan Tobroni, 2001:58). Artinya,
teologi merupakan pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan
(aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah
kemanusiaan. Jalinan keterhubungan antara teologi dan kemanusiaan merupakan
masalah kontemporer dalam kajian sosiologi agama. Mengingat tidak jarang bahwa
kultur kekerasan (culture violence) dalam suatu agama bersumber dari teologi
yang dianut (Azra, 2011). Apabila pendapat ini dijadikan pijakan dalam mencermati
gejala sosial kontemporer terkait dengan munculnya kekerasan atas nama agama
yang marak belakangan ini, maka setiap agama mempunyai tanggung jawab untuk
merekonstruksi teologinya dengan mengedepankan nilai-nilai humanitas. Di
sinilah teologi humanitas mendapatkan arti penting untuk mengejawantahkan
ajaran tentang ketuhanan yang abstrak dalam praksis kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan
demikian, pemahaman mengenai ketuhanan dipandang penting untuk membangun
religiusitas umat Hindu secara holistik dan integral dalam kerangka tattwa,
susila, dan acara. Dalam hal ini, Bhagawadgita dapat dijadikan salah satu
rujukan yang layak dikaji, seperti dijelaskan Sudharta (1990:2) bahwa selain
konsep yoga dan teologi, juga moralitas merupakan aspek penting dari ajaran
Bhagawadgita. Hal ini menegaskan bahwa Bhagawadgita sebagai teks Hindu memiliki
keunggulan tersendiri karena sifat ajarannya yang komprehensif tentang teologi
humanitas. Pernyataan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengabaikan teks-teks
Hindu lainya. Artinya, melalui pengkajian yang mendalam terhadap aspek-aspek
teologi atau konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita diharapkan dapat memperkaya
referensi tentang agama Hindu. Inilah aspek penting dan relevansinya mengkaji
Bhagawadgita sebagai upaya pengayaan ilmu agama khususnya konsep ketuhanan.
2. Ringkasan Bhagawadgita
Bhagawadgita terdiri atas 18 bab dan 700 seloka. Tiap-tiap bab membahas topik perkara secara khusus. Menurut Pudja (1999) Bhagawadgita adalah Itihasa, yaitu bagian dari Bhisma Parva dalam kitab Mahabharata sebagai puncak dialog antara Krishna dan Arjuna. Bhagawadgita penting dibahas karena secara umum menjadi satu suplemen dalam mempelajari Catur Weda. Hal ini diungkapkan oleh Gunawan (Pudja, 1999) bahwa Bhagawadgita adalah kitab suci yang memuat tentang sari pati ajaran Weda atau sari pati ajaran agama Hindu.
Bhagawadgita (selanjutnya demi efisiensi penulisan disebut dengan Gita saja) terjemahan Pudja (1999) dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut.
2. Ringkasan Bhagawadgita
Bhagawadgita terdiri atas 18 bab dan 700 seloka. Tiap-tiap bab membahas topik perkara secara khusus. Menurut Pudja (1999) Bhagawadgita adalah Itihasa, yaitu bagian dari Bhisma Parva dalam kitab Mahabharata sebagai puncak dialog antara Krishna dan Arjuna. Bhagawadgita penting dibahas karena secara umum menjadi satu suplemen dalam mempelajari Catur Weda. Hal ini diungkapkan oleh Gunawan (Pudja, 1999) bahwa Bhagawadgita adalah kitab suci yang memuat tentang sari pati ajaran Weda atau sari pati ajaran agama Hindu.
Bhagawadgita (selanjutnya demi efisiensi penulisan disebut dengan Gita saja) terjemahan Pudja (1999) dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut.
Bab
I berjudul Arjuna Visada Yoga terdiri
atas 47 seloka. Bab ini dimulai dengan keraguan yang timbul pada diri Arjuna
setelah menyadari akibat peperangan yang dapat terjadi dan dinilai bertentangan
dengan ajaran agama. Dalam bab ini diuraikan pula gambaran situasi di padang
Kuru tempat terjadinya perang saudara. Masalah yang dihadapi oleh Arjuna adalah
pertentangan ‘nilai religi’ yang pada dasarnya agama mengajarkan ajaran ahimsa.
Sehubungan dengan itu membunuh guru merupakan dosa besar (maha pataka). Ajaran
Vairagya sebagai sistem pencapaian tujuan moksa. Timbulnya kemerosotan moral
dan musnahnya tradisi leluhur sebagai ekses terjadinya peperangan dan timbulnya
kekacauan dalam sistem varnasrama dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan
dalam jatidharma dan dharma. Arjuna juga melihat secara empiris pada
hakikatnya banyak terjadi pertentangan di dalam penerapan ajaran moral agama.
Dengan demikian bila tujuan hidup agama itu harus direalisasikan apa pun
dalihnya peperangan itu bertentangan dengan agama. Akan tetapi Arjuna menyadari
pula bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif lain, tetapi
untuk memantapkannya Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krsna untuk keluar dari
kebingungan itu.
Bab
II berjudul Sāmkhya Yoga terdiri atas
72 seloka. Krsna yang menanggapi pandangan dan perasaan yang dialami oleh
Arjuna menjelaskan dasar pemikiran sebagai berikut. (1) Sifat lemah yang ada
pada setiap diri manusia menyebabkan mudah menyerah pada keadaan. Sifat lemah
ini disebut anarya. Sifat putus asa seperti ini pada hakikatnya bertentangan
dengan ajaran agama Hindu yang mewajibkan agar tidak berputus asa dalam segala
hal. (2) Kebodohan atau avidya pada hakikatnya menimbulkan kesalahan dalam
memahami terutama masalah kirti dan yasa. Pada hakikatnya Krsna melihat bahwa
masalah Arjuna bersumber pada masalah ini sehingga dicoba menjelaskan hakikat
hidup dan tujuan hidup sebagaimana diajarkan oleh ajaran Sāmkhya -Yoga. Pada
dasarnya Sāmkhya -Yoga adalah ajaran kefilsafatan (tattva darsana), yaitu
Sāmkhya merupakan ajaran rasionalisme atau Jñāna-yoga. Yoga merupakan ajaran
disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup beragama (moksa).
Kedua dasar ajaran ini didasarkan pada konsep Upanisad yang menguraikan bahwa
tujuan hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai melalui dua jalan, yaitu
Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga. Kedua dasar ajaran itu hendaknya dipahami
dengan tepat agar tujuan hidup beragama dapat dicapai dengan baik, yaitu
dharma, artha, kama, dan moksa.
Bab
III berjudul Karma Yoga terdiri atas 43
seloka. Bab ini membahas dasar-dasar pengertian Karma Yoga yang dibedakan dari
ajaran Sāmkhya Yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran Sāmkhya dan
Yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu sistem yang
dianggap bertentangan dengan sistem samnyasa Krsna mencoba menegaskan makna
ajaran karma yoga secara lebih mendetail. Jñāna dengan ajaran Jñāna Yoga
merupakan inti ajaran Sāmkhya sebaliknya karma atau tindakan tidak harus
berarti sama dengan Jñāna. Dalam Gita karma ini dibedakan dalam dua bentuk
yaitu, Subba Karma ‘perbuatan yang baik’ dan Asubha Karma ‘perbuatan yang tidak
baik’. Adapun perbuatan yang tidak baik dibedakan pula menjadi dua macam yaitu,
Akarma dan Vikarma. Dengan demikian terdapat tiga macam bentuk sikap tindak kegiatan,
yaitu Karma ‘perbuatan baik’, Akarma ‘perbutan tidak berbuat’, dan Vikarma
‘perbuatan yang keliru’. Apa yang diharapkan dari ajaran Karma Yoga ini adalah
tercapainya tujuan kebebasan, yaitu moksa atau sidhi (kesempurnaan).
Ada dua hakikat pengertian kata karma yang berkembang di dalam Gita yaitu Karma dalam arti ritual atau yadnya dan karma dalam arti tingkah laku perbuatan. Hal ini tampak jelas dari uraian bab III seloka 10 yang menghubungkan arti karma dengan penciptaan alam semesta yang dilakukan pada permulaan penciptaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam permulaan penciptaan itu menciptakannya bukan untuk kepentingan diri-Nya. Demikian pula dalam hukum kerja itu agar didasarkan pada asas ketidak- terikatan untuk kepentingan pribadi, tetapi didasarkan atas dharma yang menjelma dari bentuk hukum, hak, dan kewajiban. Dengan demikian maka asas vairagya sebagai satu ajaran mendorong pelakunya berbuat karena kewajiban untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Hal ini dilakukan agar kekaryaannya itu mempunyai nilai guna. Soal pahala atau akibat yang timbul adalah hak yang pasti dan tak perlu dicari-cari yang tentunya akan diperoleh.
Ada dua hakikat pengertian kata karma yang berkembang di dalam Gita yaitu Karma dalam arti ritual atau yadnya dan karma dalam arti tingkah laku perbuatan. Hal ini tampak jelas dari uraian bab III seloka 10 yang menghubungkan arti karma dengan penciptaan alam semesta yang dilakukan pada permulaan penciptaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dalam permulaan penciptaan itu menciptakannya bukan untuk kepentingan diri-Nya. Demikian pula dalam hukum kerja itu agar didasarkan pada asas ketidak- terikatan untuk kepentingan pribadi, tetapi didasarkan atas dharma yang menjelma dari bentuk hukum, hak, dan kewajiban. Dengan demikian maka asas vairagya sebagai satu ajaran mendorong pelakunya berbuat karena kewajiban untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Hal ini dilakukan agar kekaryaannya itu mempunyai nilai guna. Soal pahala atau akibat yang timbul adalah hak yang pasti dan tak perlu dicari-cari yang tentunya akan diperoleh.
Bab
IV berjudul Jñāna Yoga terdiri atas 42
seloka. Bab ini menguraikan Jñāna Yoga yang telah berkali-kali disampaikan Sri
Krsna kepada umat manusia agar menjadi manusia-manusia bijak. Dikatakan pula
manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia
dengan mengenakan badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma dari kehancuran
dan melindungi orang-orang bijak. Di samping itu ajaran tentang varnasrama
dharma dan berbagai jalan yang ditempuh manusia dalam rangka pencariannya yang
tertinggi juga diuraikan dalam bab ini. Jnana Yoga sebagai cara mencapai
kelepasan (moksa) juga kembali ditekankan di sini. Di samping kegiatan kerja
tanpa pamrih yang tidak membelenggu diuraikan pula tentang kurban kebijaksanaan
sebagai kurban tertinggi. Dikatakan demikian karena kebijaksanaan itu sendiri
akan membakar habis segala dosa dan akibat dari perbuatan. Selanjutnya secara
panjang lebar Krsna juga menjelaskan kepada Arjuna kaitan Jnana Yoga dengan
Yoga lain yang memberikan kemantapan kepada Arjuna dalam mengemban tugas
sebagai seorang ksatria dalam menghadapi pertempuran ini.
Bab
V berjudul Karma Samnyasa Yoga
terdiri atas 29 seloka. Bab ini intinya membandingkan antara dua sistem jalan
menuju kesempurnaan, yaitu karma samnyasa di satu pihak dan yoga di bagian
lain. Penjelasan bab V merupakan pengembangan pengertian dari ajaran yang telah
dijelaskan dalam bab IV tentang arti Jnana Yoga. Arjuna ingin penjelasan yang
tegas mengenai jawaban atas pertanyaan, yaitu mana yang lebih baik membebaskan
diri dari kerja (karma samnyasa) atau kerja tanpa kepentingan pribadi atau
tanpa motif untuk mencari keuntungan pribadi. Sistem kerja yang kedua adalah
lebih baik. Penampilan kedua macam pertanyaan ini tentunya dilakukan pada satu
pengerttian dengan mengingat sistem catur asrama, yaitu
Brahmacari-Grahasta-Vanaprasta-Samnyasa). Di dalam Yoga karma itu tetap ada,
tetapi tidak dimotivasikan untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk
pelepasan keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada
kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ber-samadhi. Yoga berarti
menghubungkan (Yuj) pikiran kepada Tuhan sehingga segala sifat hakiki Tuhan
dapat direfleksikan ke dalam jiwa. Dengan demikian berbuat itu tidak terikat
oleh diri pribadi, tetapi didorong oleh kehendak Ilahi.
Bab
VI berjudul Dhyāna Yoga terdiri atas
47 seloka. Bab ini menguraikan makna Dhyāna Yoga sebagai suatu sistem dalam
Yoga. Ini merupakan dialog lanjutan dari Bab V tentang Yoga. Yoga mengajarkan
delapan macam disiplin untuk memungkinkan seseorang mencapai tingkat kesucian
batin dan kesempurnaan citta. Kedelapan disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama,
(3) Asana, (4) Pranayama, (5) Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyāna, dan (8)
Samadhi. Ajaran Dhyāna Yoga atau Dhyāna dalam sistem Yoga inilah yang
dijelaskan oleh Krsna kepada Arjuna. Untuk melakukan yoga dan bermeditasi yang
baik, semua syarat harus dipenuhi, yaitu dimulai dari sikap asana yang baik
menyebabkan orang mudah melakukan konsentrasi pikiran atau Dhyāna. Walaupun
demikian, Arjuna yakin bahwa pikiran itu bersifat seperti binatang liar yang
sukar dijinakkan sehingga sangat sulit untuk dapat meninggalkan pikiran dalam
mencapai tujuan. Semua ini dijelaskan secara singkat yang pada intinya
bagaimana membiasakan putusan yang baik melalui yama dan niyama brata. Krsna
juga mengakui kesulitannya dan karena itu alternatifnya adalah mengarah kepada
perbuatan kebajikan. Diuraikan pula bahwa manusia akan lahir kembali kedunia
sesudah sampai di surga bila sudah selesai masanya penikmatan hasil kebajikan
itu. Hal ini akan berulang sampai berhasil melepaskan diri dari sarang
laba-laba karma, yaitu kelak kalau telah mencapai nirvana atau moksa atau
brahma nirvana. Menurut Krsna, seorang yogi lebih besar, baik daripada pertapa
maupun sarjana dan lebih besar pula artinya daripada pendeta yang melakukan
upacara yadnya.
Bab
VII berjudul Jñāna Vijñana Yoga terdiri
atas 30 seloka. Intinya adalah membahas Jñāna dan Vijñana. Jnana artinya
pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan. Oleh karena itu
bab ini merupakan lanjutan dari bab VI tentang Dhyāna untuk mencapai tingkat
samadhi. Dengan demikian, perhatian pembahasannya terletak pada tujuan atau
objek Dhyāna, yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang dalam agama disebut Para Brahman,
Para Atman, Parama Isvara. Oleh karena itu, Krsna mulai menjelaskan pengertian
Atman dan hubungannya dengan Parama-atman atau Brahman yang absolut. Alam
semesta dengan segala bentuk ciptaan itu disebut bhuta, yang mempunyai lima
komponen dasar disebut Panca Maha Bhuta yang terdiri atas prthivi (tanah), apah
(air), teja atau agni (api, panas), vayu (angin), dan akasa (ether). Kelima
unsur dasar itu timbul dari prakrti dan sebagai akibat dari evolusi dari
prakrti. Di samping unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut Atman atau
Jiva yang menyebabkan timbulnya ciptaan (srsti). Jiva atau Atman adalah bagian
dari Brahman. Oleh karena itu, perlu disadari hubungan pengertian antara Atman
dan Brahman. Di dalam melakukan samadhi hakikat inilah yang harus dicapai dalam
pengertian dan makna aksara mantra AUM atau Om Kara sebagai manifestasi wujud
abadi. Di samping itu, Krsna juga menjelaskan pengertian triguna sebagai
hakikat sifat dasar dari prakrti sehingga timbulnya proses evolusi sebagai
akibat ketidakseimbangan triguna. Ketidaksadaran dan kekeliruan pandangan
manusia adalah pada kekuatan maya sehingga salah mengidentifikasi dan
menyamakan Atman dengan prakrti. Pemahaman keliru ini ibarat melihat cermin,
melihat dirinya pada cermin seakan-akan manusia dalam cermin itu berbeda.
Inilah yang disebut dengan kekuatan maya. Dengan manyadari hal ini, orang akan
mulai dapat mengarahkan pikirannya secara benar dan dari sini akan terlihat
mengapa aham (Aku) itu adalah Brahman (yang absolut transedental) dan ada pula
pada setiap makhluk.
Bab
VIII berjudul Aksara Brahma Yoga terdiri
atas 28 seloka. Aksara Brahma Yoga berbicara tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan
Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Demikian pula tentang
Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyadnya, dan hakikat kematian. Dijelaskan pula cara
pendekatan pengertian yang dapat memberi uraian yang jelas tentang Brahman
dengan Adhyatman yang pada hakikatnya sama dengan Parama Atman. Dikatakan bahwa
Atman mempunyai basis Adhyatman (Brahman) demikian pula hakikat bhuta, yaitu
panca mahabhuta dengan adhibhuta. Di samping itu, dijelaskan pula pengertian
tentang adhiyadnya dan adhidaivata (adhidaibata).
Bab
IX berjudul Rāja Vidyāra Yoga terdiri
atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat dasar-dasar ajaran Raja Yoga dengan
judul Rāja Vidyā Rājaguhya Yoga. Dijelaskan hakikat raja hanya sebagai istilah
untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (Vidyā), yaitu ajaran ketuhanan.
Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan. Oleh karena
itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan ilmunya
merupakan ilmu tertinggi dari semua ilmu. Dalam hubungan ini Krsna tidak saja
menjelaskan arti dan kedudukan Tuhan sebagai Brahman, sebagai Bapak atau
sebagai Pelindung dan Pencipta, tetapi dijelaskan juga bagaimana alam semesta
ini diciptakan. Bila hendak melakukan bhakti atau sembahyang, maka tujuan
sembahyang adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu apa pun gelar yang diberikan
kepada Nya. Semua harus mencari perlindungan kepada Nya, karena itu, Krsna
mengajarkan bahwa Tuhan sebagai pusat dari semua ciptaan dan kebaktian.
Bab
X berjudul Vibhuti Yoga terdiri atas
41 seloka. Bab ini menjelaskan sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris.
Dikatakan bahwa hakikat absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa
permulaan, pertengahan, akhir. Demikian pula manifestasi Brahman dalam alam
semesta, sebagai kitab suci, Devata, manusia, dan huruf yang semuanya
memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan yang kuat. Kemudian, bab XI
berjudul Visva Rupa Darsana Yoga terdiri atas 55 seloka. Visvarupa Darsana Yoga
sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba
menjelaskan bentuk manifestasinya secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu,
maka terjawablah misteri yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat
yang Mahaada.
Bab
XII berjudul Bhakti Yoga terdiri atas
20 seloka. Di dalam bhakti yoga manusia bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu (1) menyembah
Tuhan dalam wujudnya yang abstrak, dan (2) menyembah Tuhan dalam wujud nyata, misalnya
menggunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Sehubungan dengan kedua
pertanyaan ini, Krsna menegaskan bahwa kedua-duanya baik. Penyembahan Tuhan
dalam wujud abstrak, yaitu dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah
merupakan amat baik. Akan tetapi, hambatan dan kesulitan itu tetap banyak
karena Tuhan yang tanpa wujud, kekal abadi, tak berubah sangat sulit untuk
dicapai oleh akal pikiran. Sebaliknya, dengan Yoga biasa diperlukan sarana
pratima atau arca sehingga lebih mudah untuk mewujudkan rasa bhakti, tetapi itu
belum nyata.
Bab
XIII berjudul Ksetra Ksetrajna Vibhaga
Yoga terdiri atas 34 seloka. Bab ini membahas hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa
yang dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti (pradana) sebagai nama rupa.
Kebutuhan nama rupa yang digelari dengan purusa dan prakrti adalah untuk
memberi landasan dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha Esa
sebagai hakikat yang maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian
ini dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta.
melalui proses kejadian dari 24 macam elemen. Di samping itu, dijelaskan pula
tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang dapat dikategorikan sebagai
arif bijaksana. Oleh karena itu, Krsna menguraikan kebaikan dan sifat rendah
hati, tidak cepat marah, sabar, tawakal, adil, jujur, beriman, suci lahir batin
dengan selalu mengendalikan pikiran, tutur kata dan tingkah laku sehingga
terkendalinya ego dan makin bertambah baiknya budi manusia.
Bab
XIV berjudul Gunatraya Vibhaga Yoga
terdiri atas 27 seloka. Bab ini membahas triguna atau guna traya, yaitu tiga
macam guna yang terdiri atas sattvam, rajas, tamas. Manifestasi guna pada
diri manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai refleksi
dari triguna. Sebaliknya, yang menjadi tujuan pembahasan guna traya ini adalah
bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi
segala-galanya. Khusus untuk sifat-sifat manusia yang telah dapat mengatasi
pengaruh triguna digambarkan sebagai seseorang yang memiliki watak tidak
membenci, selalu hidup dalam keadaan tenang, tidak memiliki pertentangan batin
sebagai akibat pengaruh sifat-sifat yang bertentangan dalam diri pribadinya,
tidak mudah goyah atau berubah-ubah pendirian, tetapi selalu mengabdi dan
berbakti tanpa pamrih.
Bab
XV berjudul Purusottama Yoga terdiri
atas 20 seloka. Bab ini membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua
ciptaan. Purusattama atau purusa utama adalah purusa yang Maha Tinggi, yaitu
hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang transendental. Ia adalah
Brahman. Bahasan ini menggambarkan hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan
segala ciptaannya. Krsna mengibaratkannya sebagai pohon asvattha atau ficus
religiose (semacam pohon beringin). Kalau pohon itu berakar, berbatang,
berdaun, dan lain-lainnya, maka akarnya (asalnya) adalah purusa itu sebagai
kejadian lainnya adalah batang, dahan, dan daun-daunnya. Akan tetapi, diajarkan
pula bahwa Tuhan ada di atas dan karena itu pohon asvattha dikatakan akarnya
ada di atas yang kemudian batangnya yang berjuruai ke bawah dengan
sifat-sifatnya adalah semua ciptaannya. Purusottama adalah adhyatman, yaitu
atman yang menghidupi makhluk ciptaan bertebaran ke bawah.
Bab
XVI berjudul Daivasura Sampad Vibhaga
Yoga terdiri atas 24 seloka. Bab ini intinya membahas hakikat tingkah laku
manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk. Kedua hal ini merupakan
inti pertanyaan Arjuna. Dalam menjawab pertanyaan itu, Krsna menggambarkan
sifat-sifat baik yang disebut sifat Devata dan sifat-sifat jahat sebagai
sifat-sifat raksasa atau asura. Mulai dari seloka 1 sampai dengan 3 adalah
gambaran tentang sifat-sifat mulia, sedangkan sifat-sifat asura adalah yang
berlawanan dan diperinci dalam seloka 4. Dikemukakan pula bahwa secara empiris
tidak ada manusia yang hidupnya sempurna. Oleh karena itu, Krsna mendesak agar
Arjuna atau siapa saja agar tidak berputus asa dan tidak pula merasa takut.
Seloka 24 yang terakhir pada bab XVI, Krsna menegaskan agar kitab sastra dan
Veda digunakan sebagai pedoman hidup.
Berikutnya,
bab XVII berjudul Sraddhatraya Vibhaga Yoga
teridiri dari 28 seloka. Sraddha Traya Vibhaga Yoga bertujuan untuk meyakinkan
agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu triguna. Penekanan ini
dimaksudkan sebagai penanggulangan terhadap pengaruh yang timbul karena triguna
dengan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bagian ini
merupakan landasan etika atau dharma. Keyakinan yang kedua adalah hakikat
ucapan AUM (OM) Tat Sat sebagai pengakuan adanya Tuhan Yang Mahaada, tiada
lain, kecuali Yang Mahaabadi yang disebut pula Aksara Brahman. Ketiga adalah
keyakinan akan tercapainya moksa yang juga disebut brahma nirvana.
Bab
XVIII berjudul Samnyasa Yoga terdiri atas
78 seloka. Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan dari semua ajaran yang
menjadi inti tujuan pelaksanaan agama yang tertinggi, yaitu brahma nirvana.
Dengan simpulan ini maka menjadi jelas bahwa Gita mencoba mendorong Arjuna
untuk bertindak tanpa ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri pada kewajiban dan
akibat-akibatnya. Sebaliknya, bertindak dan pasrah kepada Tuhan sebagai Yang
Maha Mengatur sehingga rasa berdosa dapat diatasi.
3. Tattwa Jnana: Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu disebut brahmawidya dari bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Teologi menurut Bagus (2002:1090) dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu. Secara keseluruhan teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan memiliki pengertian seperti berikut.
(1) Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik.
(2) Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
(3) Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan.
(4) Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
(5) Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti keyakinan akan para dewa dan atau Allah.
3. Tattwa Jnana: Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu disebut brahmawidya dari bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi, yaitu ilmu yang mempelajari Tuhan (Pudja (1999:3). Teologi menurut Bagus (2002:1090) dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu. Secara keseluruhan teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan memiliki pengertian seperti berikut.
(1) Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik.
(2) Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
(3) Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan.
(4) Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
(5) Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti keyakinan akan para dewa dan atau Allah.
Dengan
demikian, teologi adalah ilmu tentang Tuhan yang ssungguhnya merupakan bagian
dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari prinsipnya
yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari indreawi tunggal. Objeknya
adalah Tuhan, yaitu eksistensiNya, esensiNya, dan aktivitasNya. Dengan
begitu, ilmu tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang
dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang
objek-objek pengalaman indrawi. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan tidak
memberikan suatu pengetahuan yang memadai tentang Dia, tetapi semata-mata hanya
pengetahuan yang bersifat analogis (Bagus, 2002:1090).
Pengetahuan
yang bersifat analogis ini menurut Pudja (1999:3) dalam kitab suci Hindu
disebut brahmawidya atau Brahmatattva Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang
diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya,
Yang Mahakuasa. Widya atau Jnana kedua-duanya berarti ilmu. Tattva berarti
hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva
Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan. Inti
dari Tattva adalah Panca Srada, yaitu kepercayaan atau keimanan dalam agama
Hindu. Hal ini juga ditegaskan Sudharta dan Punia Atmaja (2001:6) bahwa
berdasarkan tattwanya, keimanan agama Hindu adalah Panca Sraddha, yaitu percaya
kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Atman, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa.
Menurut Panitya Tujuh Belas (1986:15) kelima aspek Panca Srada ini adalah
Tattwa, karena itu disebut Panca Sradha Tattwa. Kelima aspek Panca Sradha Tattwa
ini menjadi landasan berdirinya Susila Hindu, yaitu lima keimanan pokok agama
Hindu yang harus diyakini oleh umat Hindu.
Kelima
aspek Panca Sradha Tattwa tersebut menurut Punyatmadja (1987:9) terdapat dalam
Weda, yaitu Rg. Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Tiap-tiap bagian
dari Weda terdiri atas Samhita (syair-syair pujaan), Brahmana (aturan hidup
keagamaan dan upacara), Aranyaka dan Upanisad (filsafat pengetahuan tentang
hubungan antara roh dan Tuhan, penjelasan, dan kelepasan). Ajaran Weda ini juga
disebut Agama Sruti yang artinya wahyu suci yang diucapkan, diceritakan, dan
ditulis oleh orang-orang yang suci pribadinya, serta wajar dipercaya. Ajaran
yang tercantum di dalamnya menyebutkan bahwa alam akhirat dan wujud rohaniah
sebagai Brahman, yaitu Tuhan sumber semesta alam atau Parameswara. Tuhan Raja
Alam, Pelindung Agama, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta Pelindung
Kebenaran yang mengadili semua makhluk berdasarkan amal dan dosanya.
Adanya
Atman, yaitu roh yang menjadi sumber hidup setiap makhluk dan tunggal wujudnya
dengan Bhrahman sebagai sumber alam semesta. Adanya hukum Karma yang
menimbulkan Karmaphala, yaitu phala atau hasil subha asubha karma atau subha
asubha prawerti. Inilah amal-dosa perbuatan yang berupa surga-neraka, kebahagiaan-penderitaan
akhirat yang mempengaruhi penjelmaan berikutnya yang akan datang. Adanya
punaryanma (samsara), yaitu menjelmanya Atman atau roh ke dunia lagi. Adanya
moksa, yaitu kebahagiaan yang langgeng berupa ketenteraman rohani, bebas dari
penjelmaan, serta menunggalnya Atman atau roh dengan Brahman (Punyatmadja,
1987:9).
Artinya, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah ilmu tentang Tuhan yang umumnya dimengerti dan dipahami sebagai teologi. Inti dari konsep ketuhanan adalah tattwa yang dalam agama Hindu dipahami sebagai ilmu tentang hakikat – Tuhan. Inti dari tattwa adalah Panca Sraddha merupakan lima kepercayaan pokok dalam agama Hindu. Dengan demikian, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah teologi Hindu, yaitu ilmu tentang Hyang Widhi Wasa. Konsep ketuhanan sebagai ilmu tentang Hyang Widhi Wasa adalah ilmu yang bersifat subjektif yang lahir dari dalam diri dan dari dalam jiwa yang beriman dan bertaqwa. Artinya, sradha menjadi hal prinsip yang mutlak diperlukan bagi penjelasan tentang suatu kepercayaan yang hanya hadir bagi subjektivitas. Sradha sebagai keimanan yang tulus menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri manusia.
Artinya, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah ilmu tentang Tuhan yang umumnya dimengerti dan dipahami sebagai teologi. Inti dari konsep ketuhanan adalah tattwa yang dalam agama Hindu dipahami sebagai ilmu tentang hakikat – Tuhan. Inti dari tattwa adalah Panca Sraddha merupakan lima kepercayaan pokok dalam agama Hindu. Dengan demikian, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah teologi Hindu, yaitu ilmu tentang Hyang Widhi Wasa. Konsep ketuhanan sebagai ilmu tentang Hyang Widhi Wasa adalah ilmu yang bersifat subjektif yang lahir dari dalam diri dan dari dalam jiwa yang beriman dan bertaqwa. Artinya, sradha menjadi hal prinsip yang mutlak diperlukan bagi penjelasan tentang suatu kepercayaan yang hanya hadir bagi subjektivitas. Sradha sebagai keimanan yang tulus menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri manusia.
Sradha
atau kepercayaan sebagai keimanan merupakan sifat dasar manusia. Dalam Gita
XVII. 3 ditegaskan, “kepercayaan tiap-tiap individu, tergantung kepada sifat
wataknya; manusia terbentuk oleh kepercayaannya, apa pun kepercayaannya
demikian pulalah dia adanya”. Sradha seseorang terbentuk berdasarkan sifat dan
wataknya, juga begitu seseorang dibentuk oleh sradhanya. Begitu sradhanya,
begitu pula orangnya. Artinya, sradha adalah esensi dari setiap sifat sejati
individu yang sudah diatur oleh karmanya. Dengan demikian, sikap dan perbuatan
seseorang sesuai dengan sifatnya. Vivekananda (1991) menegaskan bahwa berbagai
pengalaman, baik suka maupun duka akan meninggalkan berbagai kesan (baik atau
buruk) pada manusia dan akhirnya, itu yang membentuk watak orang. Jadi, watak
seseorang dibentuk dan ditentukan oleh karmanya.
Watak
manusia berdasarkan sradhanya menurut Gita ada tiga macam, yaitu satva, rajah,
dan tamah. Seperti dijelaskan Gita. XVII. 2, “ada tiga macam keyakinan dan
kepercayaan, yang tergantung kepada watak perwujudan badan, yaitu bersifat
satva, rajah, dan tamah”. Ini berarti bahwa antara kepercayaan dan watak
memiliki hubungan yang erat sesuai dengan perwujudan badan. Berikutnya, sifat
kepercayaan dan perilaku pemujaan ini dijelaskan dalam Gita. XVII. 4, “orang
yang bersifat satva memuja pada devata, yang bersifat rajah memuja yaksa dan raksasa,
sedangkan lainnya yang bersifat tamah memuja roh orang mati dan para bhuta”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sifat kepercayaan manusia sesuai dengan
sifat prakerti, yaitu triguna.
Sifat
kepercayaan yang dibentuk oleh sradha inilah yang dijadikan landasan untuk
mengungkap esensi, eksistensi, dan aktivitas Tuhan dalam Bhagawadgita. Ini
menegaskan bahwa pengungkapan konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita dilakukan
dengan bertumpu pada konsep panca sradha. Walaupun demikian, penelusuran konsep
ketuhanan dalam Bhagawagdgita dalam tulisan ini lebih ditekankan pada Widhi
Sradha.
4. Ketuhanan dalam Bhagawadgita
Tuhan dalam agama Hindu disebut Hyang Widhi Wasa. Hal ini seperti ditegaskan Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah nama Tuhan menurut umat Hindu di Bali (Indonesia). Kata “widhi” berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat kata “wi“ sempurna, tuntas; dhà “meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum, aturan, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata “wasa” berasal dari bahasa Sanskerta berati kuasa. Dengan demikian, Widhiwasa berarti Tuhan Yang Mahakuasa (Sura, 2000:133). Sementara itu, kata “ida sang hyang” adalah kata hormat. Ida “beliau”, sang “ia yang dihormati”, dan hyang “dewa’ Tuhan” (Warna, 1990:259; Zoetmulder, 1995: 273,1018). Jadi, Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah nama untuk menujuk Tuhan Yang Maha Esa.
4. Ketuhanan dalam Bhagawadgita
Tuhan dalam agama Hindu disebut Hyang Widhi Wasa. Hal ini seperti ditegaskan Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah nama Tuhan menurut umat Hindu di Bali (Indonesia). Kata “widhi” berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat kata “wi“ sempurna, tuntas; dhà “meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum, aturan, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata “wasa” berasal dari bahasa Sanskerta berati kuasa. Dengan demikian, Widhiwasa berarti Tuhan Yang Mahakuasa (Sura, 2000:133). Sementara itu, kata “ida sang hyang” adalah kata hormat. Ida “beliau”, sang “ia yang dihormati”, dan hyang “dewa’ Tuhan” (Warna, 1990:259; Zoetmulder, 1995: 273,1018). Jadi, Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah nama untuk menujuk Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan
mengacu Zoetmulder (1990:4), Yasa (Sukarma & Budi Utama, 2010) menyebutkan
bahwa ada tiga paham besar yang membentuk sistem pemikiran Hinduisme sebagai
berikut.
(1) Paham dwaita “dualis”, yakni paham pemikiran yang memahami bahwa azas segala sesuatu ini ada dua: Puruûa “azas roh” dan Prakåti “azas materi”. Paham ini terdapat dalam ajaran samkya yang pada mula diajarkan oleh Maharsi Kapila.
(2) Paham wasisthadwaita “monisme terbatas”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala sesuatu ini matunggal namun dalam Tuhan. Dengan kata lain, sistem pemikiran ini memandang bahwa dunia manunggal dengan Tuhan.unggalannya seperti hubungan antara jiwa dengan badan. Paham ini dianut oleh Ramanuja.
(3) Paham adwaita “monisme, non-dualis”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala ini adalah tunggal. Tidak ada sesuatu apapun selain Dia. Segala sesuatu yang berada di luar hakikat yang mutlak hanya merupakan maya “semu dan dan impian” yang dihasilkan oleh awidya “pengetahuan yang tidak lengkap”. Paham ini dianut oleh Sangkara.
Dari pembicaraan tentang teologi di atas bahwa Tattwa Jnana membicarakan bahwa Yang Mahakuasa yang tidak terjangkau dengan pikiran. Dia yang gaib ini dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan batasan pemikiran, walaupun Ia hanya satu dan Tunggal adanya.
“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
“Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Selain itu, juga Bhagawadgita merupakan satu kitab di antara banyak kitab agama Hindu yang mengajarkan tentang Tuhan dan cara mengenalNya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada kata penutup setiap babnya, yaitu “iti srimad Bhagavadgītāsupanisatsu brahmavidyā yam yogasastre sri Krishnarjunasamvade... nama...’dhyayah”, (‘disinilah berakhir bab ke... dari Upanisad Bhagawadgita ajaran tentang Brahmavidyā dan Yogasastra, berupa percakapan antara Sri Krsna dan Arjuna yang berjudul,...’). Artinya, Bhagawadgita adalah kitab Brahmavidya dan Yogasastra yang berisi ajaran tentang Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya.
(1) Paham dwaita “dualis”, yakni paham pemikiran yang memahami bahwa azas segala sesuatu ini ada dua: Puruûa “azas roh” dan Prakåti “azas materi”. Paham ini terdapat dalam ajaran samkya yang pada mula diajarkan oleh Maharsi Kapila.
(2) Paham wasisthadwaita “monisme terbatas”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala sesuatu ini matunggal namun dalam Tuhan. Dengan kata lain, sistem pemikiran ini memandang bahwa dunia manunggal dengan Tuhan.unggalannya seperti hubungan antara jiwa dengan badan. Paham ini dianut oleh Ramanuja.
(3) Paham adwaita “monisme, non-dualis”, yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala ini adalah tunggal. Tidak ada sesuatu apapun selain Dia. Segala sesuatu yang berada di luar hakikat yang mutlak hanya merupakan maya “semu dan dan impian” yang dihasilkan oleh awidya “pengetahuan yang tidak lengkap”. Paham ini dianut oleh Sangkara.
Dari pembicaraan tentang teologi di atas bahwa Tattwa Jnana membicarakan bahwa Yang Mahakuasa yang tidak terjangkau dengan pikiran. Dia yang gaib ini dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan batasan pemikiran, walaupun Ia hanya satu dan Tunggal adanya.
“Ekam eva adwityam Brahma”
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
“Eko Narayanad na dityo ‘sti kascit”
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
“Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.
Selain itu, juga Bhagawadgita merupakan satu kitab di antara banyak kitab agama Hindu yang mengajarkan tentang Tuhan dan cara mengenalNya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada kata penutup setiap babnya, yaitu “iti srimad Bhagavadgītāsupanisatsu brahmavidyā yam yogasastre sri Krishnarjunasamvade... nama...’dhyayah”, (‘disinilah berakhir bab ke... dari Upanisad Bhagawadgita ajaran tentang Brahmavidyā dan Yogasastra, berupa percakapan antara Sri Krsna dan Arjuna yang berjudul,...’). Artinya, Bhagawadgita adalah kitab Brahmavidya dan Yogasastra yang berisi ajaran tentang Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya.
Tuhan
dalam agama Hindu bersifat monoteistis, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kitab-kitab
suci, seperti dalam Chandogya-Upanisad IV.2.1 dijelaskan, “Ekam Eva Advityam
Brahman” (‘hanya ada satu Tuhan atau Brahman tak ada yang kedua’). Dalam
Mantram Trisandhya disebutkan “Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit” (‘Tuhan
hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua)’. Dalam Rg. Weda I.164.46
ditegaskan, “Ekam Sat Viprah bahudha vadanti” (‘hanya terdapat satu Kebenaran
Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama’). Dalam
Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan, “Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan
hana waneh” (‘lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang lainnya’).
Akhirnya, dalam mantra-mantra, Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan menjadi Pranawa
dengan suku kata suci Om (Panitiya Tujuh Belas,1986).
Tuhan
Yang Maha Esa dalam Weda dipadankan dengan Brahman. Dalam kitab Weda dijelaskan
bahwa Brahman yang pertama ada, satu adanya, bersifat kekal, pencipta, pemelihara,
pelebur, raja alam semesta, cahaya tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta.
Kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari Brahman Tertinggi sebagai satu
tanpa yang kedua, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan yang identik dengan
Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang eksistensinya
tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam hal ini
Brahman memiliki dua aspek, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman (Panitiya
Tujuh Belas, 1986:45; Punyatmadja, 1987:23).
Kedua
aspek Brahman diperjelas lewat pertanyaan Arjuna dalam Gita XII.1, “bhakta yang
mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain lagi menyembah yang Yang
Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya ini yang lebih mahir
dalam yoga”. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran
dalam bhakti, yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan
kepada Tuhan yang abstrak dalam aspek Nirguna Brahaman. Demikian juga dengan
jawaban Yang Kuasa dalam Gita XII. 2, “mereka yang memusatkan pikirannya
padaKu, dengan senantiasa mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan,
merekalah yang Aku anggap terbaik dalam pelaksanaan yoga”. Ini berarti memuja
Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna Brahman merupakan cara terbaik dalam
pelaksanaan bhakti. Sebaliknya, Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman dijelaskan
dalam Gita XII.3, “mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak Terumuskan
Yang Tak Nyata, Yang melingkupi segalanya, dan Yang Tak terpikirkan, Yang Tak
Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang Abadi”.
Tuhan
dalam aspek Saguna Brahman, juga dijelaskan dalam Gita XII.4, “dengan
mengendalikan seluruh indera, berpikiran tetap dan tenang, berusaha guna
kesejahteraan semua insani, sebenarnya mereka juga sampai kepadaKu”. Memuja Tuhan
dengan cara ini lebih mudah dibandingkan dengan memuja Tuhan dalam aspek
Nirguna Brahman. Sebaliknya, menyembah Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman
merupakan jalan bhakti yang lebih sulit dibandingkan dengan memuja Tuhan dalam
aspek Saguna Brahman. Seperti dijelaskan dalam GitaXII.5, “bagi mereka yang
pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Berwujud, kesulitannya lebih besar,
karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh
orang yang mempunyai badan jasmani”. Artinya, kepada bhakta sangat dianjurkan
memuja Tuhan yang berwujud dan berkepribadian dalam aspek Saguna Brahman karena
lebih mudah dibandingkan dengan memuja Tuhan yang tak berwujud dan tak
berkepribadian dalam aspek Nirguna Brahman.
Artinya,
Arjuna mengakui aspek Nirguna Brahman sebagai esensi Tuhan. Begitu juga
sekaligus menyatakan bahwa mereka yang menyembah aspek Saguna, yaitu eksistensi
Tuhan yang berwujud dan berkepribadian lebih baik dalam yoganya. Bhakti kepada
Tuhan dalam aspek Saguna Brahman akan lebih mudah, karena itu paling cocok
untuk Arjuna dan umat manusia. Hal ini seperti Dia katakan dalam Gita (V:6),
“untuk alasan yang sama karma yoga lebih baik dari jñāna yoga. Akan tetapi,
“samyasa tanpa yoga sungguh sukar dicapai, seorang muni yang dilengkapi dengan
karma yoga mencapai Brahman dengan segera”. Seloka ini hendak menjelaskan bahwa
penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai. Akan tetapi,
harus ditempuh dengan kerja keras dalam proses yang berlangsung secara
progresif terutama bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan mengabdi
kepada Yang Maha Esa. Jadi, ego pribadi merupakan elemen yang paling tidak
mudah dikendalikan dan selalu hadir pada setiap orang dalam berbagai bentuk
seakan-akan tidak ada habis-habisnya.
Sementara
itu, Nirguna Brahman atau Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi adalah Brahman
yang bebas dari guna, yang tidak terbatas, tidak terkondisikan, dan tanpa
sifat. Hal ini ditegaskan dalam Gita (X:12), “Engkau adalah Para Brahman,
tempat kediaman tertinggi, pensuci tertinggi, Purusa Ilahi, kekal, Devata
pertama, tak terlahirkan, mahakuasa, meliputi segalanya”. Dalam seloka ini
Arjuna secara tegas menyatakan bahwa “Engkau adalah Para Brahman”. Pernyataan
ini merupakan pengakuan yang hendak menunjukkan kedudukan Brahman dalam aspeknya
sebagai Nirguna Brahman – seperti banyak diuraikan oleh Shankara dalam filsafat
Vedanta.
Nirguna
Brahman juga dijelaskan dalam Gita (XIII:12), “Brahman tertinggi yang tanpa
awal, yang dikatakan bukan ‘Sat’ atapun ‘Asat’. Dalam Gita (XIII:15) ditegaskan,
“Dia disebut sebagai keberadaan atau bukan keberadaan, ada di luar dan di dalam
semua insani, tak bergerak, tetapi bergerak, terlalu halus diketahui, jauh
nian, namun juga dekat sekali”. Dalam Gita (XIII:16) dinyatakan, “Dia tak
terbagi, tetapi seperti terbagi-bagi, tak dapat dibagi-bagi namun ada dalam
setiap insani, seakan-akan terbagi-bagi dan diketahui sebagai pemelihara semua
makhluk memusnahkan dan menciptakan mereka”. Selanjutnya, dalam Gita (VIII:3)
ditegaskan lagi, “Dia adalah aksaram brahma paranam svabhāvo” (‘Yang Kekal
Abadi maha Agung adalah Brahman’). Seloka ini sesungguhnya hendak menjelaskan
bahwa Brahman tanpa atribut, Yang Tunggal Kekal, tampak seakan-akan
terbagi-bagi menjadi banyak, tetapi dalam kenyataannya tidak. Oleh karena itu,
Gita (XIII:16) kembali menegaskan, “Dia sendiri pemelihara, pemusnah, dan
pencipta semua makhluk”. Di sini Brahman dalam aspekNya sebagai Saguna Brahman.
Saguna
Brahman juga disebut Apara Brahman sebagai Yang Mahatahu, Yang Mahakuasa, Yang
Mahakarya, dan Yang Mahasempurna yang tersangkut dalam dunia pengalaman dan
jiwa perorangan. Ia adalah isvara. Ia yang menggunakan kekuatan Maya. Hal ini
ditegaskan dalam Gita IV.6, “Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku
adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan menjadi ada
dengan kekuatan Maya-Ku”. Jadi, Tuhan tidak lahir dan tidak binasa. Ia pencipta
semua makhluk dan alam semesta, mengendalikan Sang Maya, bereinkarnasi sesuai
dengan kehendakNya yang bebas dengan MayaNya. Yang Maha Pencipta ini
Mahasempurna dalam segala hal, tetapi dalam reinkarnasi dibatasi oleh
kaidah-kaidah duniawi yang sifatnya tidak sempurna. Walaupun untukNya tidak
pantas ditinjau dari segi duniawi, tetapi juga dilakukan olehNya demi
menyelamatkan makhluk dan alam semesta. Inilah kebesaranNya, kasihNya yang
mahasempurna. Dengan kasihNya, Tuhan hadir untuk menyempurnakan keberadaan yang
tidak sempurna. Kasih inilah tuntunan menuju kepada kesempurnaan. Walaupun
kasih sejati tidak pernah lahir dan diadakan dengan disengaja.
Keberadaan
Iswara dapat diidentifikasi melalui Gita (VII:4), “Tanah, air, api, udara,
ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah”.
Tuhan menjelaskan tentang DiriNya sendiri, seperti apa adanya. Sifat
prakertiNya dijelaskan ada dua bagian, yaitu sifat luar dan sifat dalam sebagai
sifat yang lebih rendah dan sifat yang lebih tinggi. Sifat yang rendah terdiri
atas benda (apara-prakrti) yang terbagi menjadi delapan unsur, yaitu tanah,
air, api, ether, dan udara; dan tiga lagi, yaitu pikiran (manas), pengertian
(budhi), dan ego (ahankara). Kedelapan unsur ini dapat binasa dan juga semuanya
sebagai unsur inti terdapat dalam manusia yang dapat binasa. Segala kebinasaan
atau apapun yang dapat binasa dalam kemusnahan, bukanlah hakikat dari
keberadaan. Hakikat keberadaan adalah sesuatu yang selalu ada, tak pernah
berhenti ada, dan tidak mengalami perubahan.
Keberadaan
yang kekal seperti itu dijelaskan dalam Gita (VII:5), “apareyam itas tv anyām
prakrtim viddhi me parām, jīva-bhūtām mahā-bāho yeyedam dhāryate jagat”.
(‘Inilah prakrtiKu yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya ketahuilah
prakrtiKu yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam
semesta ini’). SifatNya yang lebih tinggi disebut para-prakrti, yaitu Jiwa sebagai
inti kekuatan dari penunjang hidup yang terdapat dalam diri setiap makhluk yang
menyatu dengan dunia. Tanpa Sang Jiwa, dunia benda dan makhluk hidup tidak akan
ada. Sang Jiwa inilah sebenarnya napas dari kehidupan, yaitu inti asal-mula
dari semua makhluk di alam semesta. Jadi, esensi keberadaan bukanlah pada
bentuk fisiknya, tetapi pada hidup yang mendukung keberadaan itu.
Esensi
keberadaan ini dalam Gita (VII:6) dijelaskan, “Ketahuilah bahwa keduanya ini
merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal-mula dan leburnya
alam semesta ini”. Jadi, semua benda dan makhluk hidup dalam alam semesta
berasal dari Yang Maha Esa. Ibarat sinar surya tetap merupakan bagian dari Sang
Surya, juga begitu semua makhluk dan benda-benda berasal dari Yang Maha Esa.
Setiap jiwa adalah sinar surya, bagian dari Yang Maha Esa, karena itu Yang Maha
Esa adalah sumber atau inti dari setiap jiwa. Alam semesta bergerak
terus-menerus dalam gerakan melingkar dan memutar, yaitu lingkaran manifestasi
dan kemusnahan kehidupan. Semua itu terserah kepadaNya untuk mengatur sesuai
dengan kehendakNya sehingga makhluk dan benda-benda di alam semesta ini datang,
tinggal, dan kembali kepadaNya. Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir
untuk semuanya.
Artinya,
sesuatu manifestasi bermula dari ketika Yang Satu menjadi dua, yaitu benda dan
kehidupan, kesatuan raga-jiwa. Raga adalah bentuk fisik dan jiwa adalah hidup.
Semua mahkluk yang eksis dalam manifestasi akan hidup dan bergerak karena ada
Sang Jiwa. Pada setiap permulaan kehidupan akan diikuti dan diakhiri oleh
kemusnahan. Ini sudah menjadi hukumnya. Kehidupan berlangsung secara evolusi
dari tahapan-tahapan kehidupan dalam masa tertentu. Seperti masa kanak-kanak
sampai dengan lanjut usia hingga mati yang harus dilalui dalam musim kemarau,
musim dingin, dan musim semi. Hal ini dijelaskan dalam Gita (II:13),
“sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda, dan masa tua
demikian juga dengan diperolehnya badan baru, orang bijaksana tidak akan
tergoyahkan”. Masa-masa ini merupakan saat penyempurnaan nilai-nilai yang sudah
gugur. Proses penyempurnaan ini berlangsung sedemikian rupa secara
susul-menyusul dan silih-berganti. Proses susul-menyusul dan silih-berganti ini
menyebabkan alam semesta memiliki pagi dan malam. Pada pagi kehidupan bangkit
dengan segala aspeknya, seperti peradaban, kebudayaan, seni, dan ilmu
pengetahuan. Setelah pagi berlalu muncullah malam yang berarti kehancuran dan
kemusnahan segala sesuatu. Semua benda dan makhluk menjadi musnah, kecuali yang
telah mengabdi tanpa pamrih kepadaNya. Mereka ini telah terbebaskan dari lahir
dan mati menyatu denganNya, yang Mahaabadi. Begitulah lila Tuhan atau
permainanNya, kemahakuasaanNya.
Kemahakuasaan
ini juga dijelaskan dalam Gita (VII:7), “tak ada yang lebih tinggi daripadaKu,
yang ada disini semua terikat padaKu bagaikan rangkaian mutiara pada seutas
tali”. Jadi, segala realitas sebagai keberadaan, baik alam maupun makhluk
bergantung pada keterikatan, yakni pada seutas tali yang tiada lain adalah
Tuhan. Artinya, kewajiban manusia adalah melepaskan diri dari ikatan itu
sehingga menjadi mutiara-mutiara mandiri yang lepas dan bebas dari
rangkaiannya. Kebebasan ini menjadi mungkin karena usaha manusia tergantung
pada kesadarannya untuk mewujudkan keilahian dalam dirinya. Wujud keilahian
sebagai kemanusiaan di dalam diri manusia ditegaskan dalam Gita (VII:8), “Aku
adalah rasa dalam air, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari, Aku adalah
pranava dalam semua Weda, Aku adalah suara di ether dan kemanusiaan pada manusia”.
Dalam hal ini, Yang Mahakuasa adalah pengawas dan pengendali sifat-sifat alam
(triguna) yang membangun manusia. Akan tetapi, Yang Mahakuasa berada di atas
sifat-sifat ini dan tidak terpengaruh oleh triguna, walaupun Yang Mahakuasa
secara imanen dan trasendental menguasai alam dan manusia. Yang Mahakuasa
menguasai alam dan manusia melalui kekuatan ilusiNya, Maya.
Ajaran
Maya yang dalam Maya Tattwa disebut sebagai Acetana, yaitu azas ketidaknyataan
atau khayal. Maya menurut Zoetmulder 1995:1115) berarti khayal, ketidaknyataan;
penipuan, kecurangan; ilmu sihir, magi, bayang-bayang yang tidak nyata. Ajaran
maya dijelaskan dalam Gita (V:15) sebagai pengetahuan yang tertutupi kebodohan
sehingga manusia terbingungkan dan tersesat, “ajñānenāvrtam jñānam tena muhyanti
jantavah” (‘budi pakerti yang diselubungi ketidaktahuanlah yang menyebabkan
makhluk tersesat di jalan’). Artinya, ketersesatan makhluk hidup terutama
manusia disebabkan oleh kebodohan, yaitu salah satu dari sifat prakterti.
Manusia yang belum sadar akan Sang Diri Sejati senantiasa akan berputar-putar
dan tersesatkan dalam lingkaran kebodohan. Jadi, kebodohan sebagai salah satu
dari sifat prakerti menyebabkan manusia bingung dan tersesat. Ketersesatan
tidak akan pernah mengantarkan manusia mencapai tujuannya sehingga manusia
tetap dan selalu berada dalam lingkaran kelahiran.
Lingkaran
kelahiran ini disebabkan oleh kekuatan triguna, seperti dijelaskan dalam Gita
(VII:13), “dikelabui oleh ketiga guna dari prakrti ini, kiranya seluruh dunia
tidak mengetahui, sesungguhnya Aku ini lebih tinggi daripada mereka, dan kekal
abadi”. Artinya, membatasi diri dengan pengetahuan dari pemahaman konvensional
yang sebenarnya diciptakan oleh Maya, yaitu melalui identifikasi bentuk-bentuk
dan kepemilikan telah menyebabkan manusia tidak dapat mengetahui Sang Jiwa yang
kekal sebagai esensi dari pengada. Kekuatan Maya tersebut sesungguhnya
disebabkan oleh kekuatan triguna yang terdapat dalam setiap materi termasuk di
dalam manusia. Hampir seluruh indera manusia dibatasi oleh selubung Maya,
karena itu manusia berputar-putar dalam dunia bentuk yang begitu terukur dengan
pembatasan normatif. Ini sebabnya manusia mengalami kesulitan mengatasi
kekuatan triguna.
Kecerdasan
dan kesadaran manusia yang masih dihalangi oleh Maya, seperti dijelaskan dalam
Gita (VII:25), “terselubungi oleh kekuatan yogamaya-Ku, Aku tak kelihatan oleh
semuanya; dunia yang terkecoh ini tak mengetahui Aku yang tak terlahirkan dan
kekal abadi”. Seloka ini hendak mendorong kesadaran manusia bahwa kewajibannya
adalah membuka tabir misteri Yang Maha Esa yang sesungguhnya berdiam di dalam
diri setiap insan. Akan tetapi, ilusi sebagai bagian dari realitas pikiran yang
menyebabkan manusia tidak dapat melihat realitas hidup yang sesungguhnya. Dunia
bentuk dan kepemilikan begitu indah dan menawan secara indrawi. Jadi, kewajiban
utama manusia adalah melepaskan diri dari Maya yang disebabkan oleh kekuatan
Triguna untuk mencapai realisasi diri yang paling dalam, yaitu Atman.
Untuk
itu diperlukan “kesadaran lain” bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia adalah
kehendak Yang Mahakuasa yang berdiam di dalam diri pada setiap makhluk. Manusia
dibuat sama sekali tidak berdaya untuk menentang kehendakNya karena manusia
begitu menyatu dalam pikirannya sehingga takluk di bawah sihir Maya. Dalam hal
ini, Yang Maha Esa ibarat dalang atau sutradara dalam pertunjukkan yang
mengatur segala-galanya, baik pemeran, lakon yang dimainkan, tata ruang atau
panggung, aturan, gerak-gerik, dialog, dan jangka waktu permainan. Akan tetapi,
sesungguhnya Yang Maha Esa bermain dengan diriNya sendiri dalam waktuNya
sendiri. Pemain, Jenis Permainan, Tempat Bermain, Waktu Bermain adalah diriNya
sendiri. Yang Maha Esa mewujud ke dalam Yang Banyak dan Yang Banyak mewujud ke
Yang Satu. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara konsep Yang Satu dan
Yang Banyak, walaupun dalam faktanya begitu sulit menyatakan bahwa Yang Satu
adalah Yang Banyak.
Penutup
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa ajaran ketuhanan dalam Bhagawadgita terindentifikasi melalui nirgnuna brahman dan saguna brahman. Kedua konsep ini memang tidak mudah dipahami karena maya meliputi kemurnian manusia. Dalam Gita (XV:19) dinyatakan bahwa “dia yang tidak tersesatkan oleh ilusi mengetahui Aku sebagai sang Diri tertinggi”. Artinya, mereka yang bertekuk-lutut di hadapan ilusi Maya akan semakin jauh diseret dari Yang Mahakuasa, sedangkan mereka yang ingin ke jalanNya hendaknya secara total dan tulus menyerahkan diri kepadaNya. Manusia harus dapat melepaskan diri dari pemahaman bahwa realitas yang tampak merupakan bentuk-bentuk yang begitu terukur dan teridentifikasi melalui indra-indra. Realitas bukan kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, tetapi “bukan ini”, yaitu realitas penyerta yang ada di balik realitas yang hadir secara konvensional.
Penutup
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa ajaran ketuhanan dalam Bhagawadgita terindentifikasi melalui nirgnuna brahman dan saguna brahman. Kedua konsep ini memang tidak mudah dipahami karena maya meliputi kemurnian manusia. Dalam Gita (XV:19) dinyatakan bahwa “dia yang tidak tersesatkan oleh ilusi mengetahui Aku sebagai sang Diri tertinggi”. Artinya, mereka yang bertekuk-lutut di hadapan ilusi Maya akan semakin jauh diseret dari Yang Mahakuasa, sedangkan mereka yang ingin ke jalanNya hendaknya secara total dan tulus menyerahkan diri kepadaNya. Manusia harus dapat melepaskan diri dari pemahaman bahwa realitas yang tampak merupakan bentuk-bentuk yang begitu terukur dan teridentifikasi melalui indra-indra. Realitas bukan kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, tetapi “bukan ini”, yaitu realitas penyerta yang ada di balik realitas yang hadir secara konvensional.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa Gita mengajarkan dunia adalah satu ilusi, tidak
masuk akal, yaitu persepsi yang salah mengenai realitas. Akan tetapi, ilusi
hampir lebih banyak disamakan dengan kata halusinasi atau delusi sehingga mengaburkan
pemahaman seolah-olah Gita menyatakan bahwa dunia ini palsu. Kebingungannya
adalah dalam pendapat bahwa kata “ilusi” berarti sama dengan “halusinasi” atau
“delusi”, yaitu satu isapan jempol imajinasi yang tidak punya dasar apa pun
dalam realitas. Contoh klasik untuk menggambarkan hal ini adalah tentang seutas
tali yang terbentang di rumput. Seorang mungkin secara mudah mengira seutas
tali itu adalah seekor ular. Itulah ilusi. Akan tetapi, itulah tali. Ilusi
bukan apakah tali ada atau tidak. Ilusinya adalah bahwa orang secara salah
menganggap tali itu sebagai seekor ular. Dengan demikian, ketika Gita berbicara
tentang dunia material sebagai sebuah ilusi, Gita tidak mengatakan bahwa dunia
material tidak ada. Akan tetapi, Gita berbicara persepsi yang salah tentang
dunia, yaitu pemikiran bahwa dunia material terpisah dari Tuhan. Sebaliknya,
realitas merupakan realisasi dari Yang Maha Esa.
Daftar Kepustakaan
Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Daftar Kepustakaan
Bagus, Lorenz. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar